Jumat, 16 Desember 2011

Hikmah Berdakwah dengan kelembutan

“Dikarenakan rahmat Allah-lah engkau berlemah lembut. Sekiranya engkau berhati keras niscaya mereka akan lari dari sekitarmu. Maafkanlah mereka dan mintakan ampun untuk mereka.” (QS. Ali-Imran : 159)



Dakwah pada hakekatnya adalah mengajak orang untuk kembali kepada fitrahnya, mendekatkan dan mengakrabkan, mendamaikan dan mempersaudarakan. Bukan malah menjauhkan atau malah mencerai-beraikan.

Dakwah yang berhasil adalah kembalinya seseorang kepada hidayah Allah dengan perantaraan seorang da’i. Keberhasilannya mengajak satu orang kembali ke jalan Allah itu lebih baik baginya ketimbang ia mendapatkan sesuatu yang sifatnya bernilai materi.

“Ya Ali, seseorang yang mendapatkan hidayah Allah lantaran engkau adalah lebih baik daripada engkau memperoleh seekor unta merah”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Tidak semua kebenaran yang disampaikan tepat sasaran seperti yang diharapkan. Kadangkala kebenaran itu kelihatan menakutkan bila disampaikan dengan memakai cara-cara yang tidak hikmah. Kemampuan tiap orang dalam mencerna kebenaran itu berbeda-beda dan tugas seorang da’i adalah menyampaikan kebenaran Islam itu dengan cara yang sesuai dengan kondisi masyarakat agar bisa diterima dengan penuh kesadaran. Tidak perlu memaksakan agar ia segera berubah karena tugas dia hanya penyampai bukan pemberi hidayah. Sebisa mungkin disampaikan dengan cara yang bijak dan sebisa mungkin tidak menghakimi.

Buah dari kelemahlembutan

Pada suatu hari, saat Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dan para shahabatnya sedang berada di masjid, tiba-tiba datang seorang Arab Gunung (Badui) kencing pada salah satu bagian masjid. Melihat kelakuan badui ini para sahabat marah, bahkan ada sebagiannya yang hendak menarik dan menghajarnya.

“Mah! Mah!”, kata para sahabat menghardik si Badui agar tidak kencing di sana, namun tidaklah demikian dengan Rasulullah. Beliau melarang para sahabatnya berbuat kasar kepada si Badui ini dan menyuruh mereka membiarkan si badui menyelesaikan hajatnya. Setelah ‘buang hajat’-nya selesai, dipanggilah orang itu. Dengan lemah lembut beliau berkata kepadanya, “Ini adalah Masjid, bukan tempat kencing dan buang kotoran. Sesungguhnya tempat ini untuk dzikrullah, shalat dan membaca al Quran”. Beliau kemudian menyuruh shahabat untuk menuangkan air pada bekas kencing orang tersebut.

Ternyata sikap dan tutur kata Nabi yang lemah lembut terhadap si badui itu menyentuh hatinya, sangat berbeda dengan para sahabat yang tampak begitu geram, dia kagum dan takjub dengan kehalusan budipekerti beliau. Maka dengan kepolosannya ia berdo’a, “Ya Allah rahmatilah aku dan Muhamad dan jangan rahmati seorang pun selain kami berdua”. Dalam doanya pun ia sempat menyindir para shahabat.

Dasar memang Badui! Kemudian Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam mengingatkan orang ini dengan kelembutan. “Kenapa engkau menyempitkan sesuatu yang luas? Bukankah rahmat Allah itu luas?”. Demikianlah Imam Bukhari dan Muslim menukilkan peristiwa itu dari Sahabat Anas bin Malik.

Kesabaran dan Kelembutan

Kesabaran dan kelembutan adalah salah satu dari sekian banyak akhlak mulia Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, bahkan terhadap mereka yang pernah menyakiti dirinya sekalipun. Beliau sangat memperhatikan lawan bicaranya dan sangat memahami bagaimana cara menyampaikan sesuatu tanpa harus menyakiti hatinya. Pribadi beliau yang lemah lembut dalam berdakwah, penuh hikmah adalah teladan bagi kita semua dan memang demikianlah hukum asal dalam berdakwah.

Posisi para shahabat memang benar dalam rangka nahi mungkar, yaitu melarang seseorang kencing dalam masjid tetapi Nabi lebih memilih memaknainya sebagai amar makruf demi melihat si badui melakukan hal tersebut lebih karena kebodohannya. Dan hasilnya, hanya beliau yang didoakan si badui walaupun akhirnya ia juga berdoa untuk para shahabatnya.

Tidaklah kelembutan itu ada pada diri seseorang kecuali ia akan menambah daya pesonanya, membuat nyaman mereka yang ada disekelilingnya dan menjadikannya didengar perkataannya. Beliau bersabda,“Tidaklah ada kelembutan pada sesuatu, kecuali ia akan membuatnya indah. Dan tidaklah tercabut dari sesuatu, kecuali akan menjelekkannya.” (HR. Muslim)

“Barangsiapa yang terhalang berbuat kelembutan, maka akan terhalang dari kebaikan.” (HR. Muslim)

Bahkan Allah pun meniscayakan larinya manusia dari kebenaran lantaran disampaikan dengan cara-cara yang keras dan tidak hikmah. Mereka lari bukan karena menolak kebenaran tetapi cara si penyampai yang tidak berkenan di hati menjadikan hati mereka berontak dan pada akhirnya lari dari kebenaran itu sendiri.

“Dikarenakan rahmat Allah-lah engkau berlemah lembut. Sekiranya engkau berhati keras niscaya mereka akan lari dari sekitarmu. Maafkanlah mereka dan mintakan ampun untuk mereka.” (QS. Ali-Imran [3] : 159)

Cara terbaik merebut hati manusia adalah dengan kelembutan. Kelembutan itu dari Allah dan letaknya itu ada dihati. Barangsiapa ingin menguasai hati manusia maka hendaknya ia meminta kepada Pemilik hati manusia agar ia dilunakkan hatinya agar melunak pula hati manusia kepadanya. Implementasinya adalah dengan menghadirkannya lewat ucapan dan perilaku sehari-hari.

Seperti apa dia ingin diperlakukan manusia seperti itulah yang harusnya ia lakukan. Dakwah bil hikmah idealnya adalah berprinsip; kembalinya manusia kedalam hidayah Allah adalah lebih baik daripada membiarkannya tetap berada dalam kesesatan, mendoakannya agar mendapatkan hidayah Allah adalah lebih baik daripada memohonkan adzab untuknya.

Kapan Harus Bersikap Lunak Dan Kapan Harus Bersikap Keras

Sungguhpun demikian, sikap keras bukan berarti tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. Terkadang beliau pun bersikap tegas bahkan keras. Yang terpenting dalam hal ini adalah bagaimana cara memposisikan sikap yang sesuai dengan situasi dan kondisi.

Seorang da’i pada dasarnya bagaikan dokter dalam menghadapi pasiennya. Adakalanya ia memberikan obat dengan dosis rendah, bila belum membuahkan hasil ia naikkan lagi dosisnya. Namun pada kondisi tertentu, ia akan memberikan obat dengan dosis tinggi atau bahkan mengantarkannya ke meja operasi. Dan bila hal itu pun masih belum membuahkan hasil atau malah membahayakan organ yang lainnya, maka jalan terakhirnya adalah amputasi. Inilah sebenarnya fase dakwah bil hikmah yang harus dilakukan, tepat dalam menempatkan sesuatu pada tempatnya, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Dia tahu kapan ia harus bersikap lembut dan kapan harus bersikap keras.

Kepada orang awam atau masyarakat yang menjunjung nilai kesopanan tidak perlu sikap keras, cukuplah dengan lemah lembut. Terburu-buru melabeli mereka dengan sesat atau ahli bid’ah bukanlah penyelesaian. Mereka yang awam mendasari perilakunya dengan kebodohan, bukan keengganan menerima kebenaran. Boleh jadi nasehat yang baik yang kita sampaikan itu adalah hal tentang kebaikan yang pertama kali mereka terima.

Sebaliknya sikap tegas dan keras diperlukan untuk menasihati seseorang yang pada dasarnya memiliki ketetapan dan keikhlasan dalam beragama agar tidak terjerembab lebih dalam lagi dalam kesalahan.

Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam pernah sangat marah kepada Muadz bin Jabal radhiyallahu anhu karena mengimami shalat isya’ dengan surat yang panjang sehingga ada salah seorang yang keluar dari jamaah dam memilih shalat sendirian. Ketika hal itu disampaikan kepada Nabi, beliau berkata, “Ya Mu’adz, apakah kamu mau jadi tukang fitnah?!”.

Shahabat sekaliber Muadz bin Jabal radhiyallahu anhu tidak akan lari meninggalkan Islam hanya karena peristiwa itu, tetapi yang terjadi adalah sebaliknya beliau menyadari kesalahannya dan makin mawas diri. Karena beliau tahu bahwa tidaklah Nabi menegurnya kecuali agar dirinya tidak larut dalam kesalahan, dan Nabi tidak pernah diam melihat kesalahan terjadi.

Mereka yang terlelap dalam kelalaian, tetapi dalam dirinya masih terselip kecenderungan untuk berbuat baik atau mereka yang hatinya tengah sakit membutuhkan ‘shock terapy’ seperti ini sebagai pelecut semangat dalam mengikuti kebenaran. Disinilah keseimbangan dalam bersikap yang seyogyanya dimiliki oleh semua da’i dalam setiap dakwahnya. Dan diatas pemahaman inilah metode dakwah itu dibangun.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl [16] : 125)

Para ulama tafsir telah banyak memberikan penjelasan artinya, para ulama fikih telah banyak menjelaskan hukum-hukumnya dan para penulis telah banyak memberikan pembahasannya, tetapi aplikatifnya tetaplah merupakan hal yang sangat dipengaruhi situasi dan kondisi dakwah itu sendiri.

Dengan terus mengkaji dan menelaah pendapat para ulama, tentulah kita akan lebih dalam lagi memaknai ayat tersebut, tidak menjadikannya karet untuk membenarkan perilaku dakwah yang menyimpang dan tidak pula menyempitkan maknanya sehingga malah menjadikan dakwah ini kaku dan kelihatan menakutkan. Wallahu a’lam.

From : http://www.eramuslim.com/syariah/siroh-tematik/hikmah-dalam-berdakwah.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar